Sunday, March 22, 2009

Women Are Giving ...

Whatever you give to a woman, she's going to multiply.
If you give her sperm, she'll give you a baby.
If you give her a house, she'll give you a home.
If you give her groceries, she'll give you a meal.
If you give her a smile, she'll give you her heart.
She multiplies and enlarges what she is given to her.

So... If you give her crap,
you will get a bucket full of shit..
(Ali)

The two sides of a coin ...

Pernikahan itu seperti pertaruhan. Kamu nggak pernah tau kamu akan dapat kartu bagus atau buruk. Seperti cinta, mungkin jodoh juga punya tanggal kadaluarsa. Itu yang menyebabkan jodoh harus berganti atau didaur ulang. Apa pun itu, pernikahan juga menawarkan kebahagiaan. Like the other side of coin, right ? (from Tea 4 Two)

Fals n Redford ... Never lost my taste on them ...

Ada persamaan antara Iwan Fals dan Robert Redford. Satu, sama2 bikin aku pengen pingsan ketika senyum mereka menghunjam jantungku … Cieee … Tompi, kalee… hehe … Dua, aku lebih suka liat mereka di usia tua dibanding pas mudanya … Taste yang aneh ya ?

Nek gak dipepet gak metu ...

Seni nyetir mobil jarak jauh atau luar kota adalah, ga bisa liat ada mobil di depan kita. Mau lewat jalan tol atau jalan biasa, tujuan ngebut sama, hanya saja konsentrasinya beda.
Di jalan tol, terutama saat macet, harus rajin memilih, piawai memutuskan berpindah-pindah dari satu lajur ke lajur lain yang kira2 bakal gak mandek sehingga ga salah kita bayar di pintu tolnya karena emang ‘terasa bebas hambatan’… hihi…
Di jalan biasa, situasinya lebih menantang, adrenalin lebih deras, so kepuasannya jelas lebih gede. Harus terus menghitung jarak, waktu, sempitnya badan jalan dan kemampuan lari mobil kita. Dan ketika perhitungan jarak dan waktu dengan mobil dari arah lawan sangat mepet, darah serasa sekejap brenti mengalir tapi kita berhasil nyalib… zoooommm …. wrooommm …. wuaaahhhh … puasnya luaaarrr biazzaaaa …. apalagi kalo diiringi klakson marah atau lampu sewot dari mobil tersebut …. hehe … More … more … more .. !!
Buatku, kebiasaan buruk mepet2 ini rupanya udah bawaan bayi. Sejak kuliah sampe kerja. Pas kuliah, belajar buat ujian pasti sistem kebut semalem. Pas kerja, mo berangkat kantor pasti jamnya mepet2… akhirnya sarapan dibawa di mobil, pake lipstick dan bedak pas lampu merah.
Sama juga dengan nggarap kerjaan. Santai2 dulu, pas dah mepet deadline, ide2 baru bisa keluar. Padahal hasil pekerjaan pasti akan lebih bagus kalau sudah kelar awal2 dan sempat dipermak sana-sini.
So, gimana caranya ya, ben masio gak dipepet tetep iso metu ? hehehe …

The Secret, by Ronda 'Anggas' Biarin

‘Ma, Dede punya rahasia.’
‘Apaan ?’
‘Kalo Mama lagi marah, Dede tau gimana caranya bikin Mama senyum lagi.’
‘Oya ? Gimana coba ?’
‘Dede bilang kan itu rahasia !’
‘Hmm…’
Aku tersenyum menatap wajahnya lekat2. Sumpah aku selalu suka pada binar matanya, bibir mungilnya, selalu suka membelai bulu2 kecil di pipi dan kupingnya serta anak2 rambut di keningnya…
‘Ma.. Ma.. bisa nyimpen rahasia nggak ?’
Wajahnya serius. Aku membuat gerakan mengunci pintu di depan bibirku dan melempar anak kuncinya jauh2 … ‘Zwiiingg … !!’
‘Kalo mama marah.....'
'Dede harus ngomong yang lucu2...'
'Atau bikinin Mama gambar. Tapi kertasnya harus dipenuhin dan warnanya harus macam2 … pokoknya seperti kesukaan Mama ‘
‘Terus, Dede juga ga akan minta diajak Mama jalan-jalan ke mana2’
‘Karena Dede sudah tau, jawabannya pasti ‘Nanti kalau pekerjaan Mama sudah selesai’, atau ‘Nanti tunggu Papa datang’'
‘Terus, kalo bobok bareng Yangti dan Mama, Dede ga akan miring menghadap ke Yangti, Dede akan miring menghadap ke Mama... Mama suka kan...’
Tiba-tiba aku merasa sesuatu yang hangat menggenang di ujung mataku…..
‘…………………………………………………………….’
Honey, how come ? You know me better than I know you ...

me vs mom ... aarrrgh...

Fara itu memang baru sepuluh tahun. Tapi penampakannya sudah kayak anak gede. And poor me, aku baru nyadar kalo dah punya anak gadis, kemaren.
There’s a boy next door. And I really think he’s cute. Bronis gicu deh. Kemaren waktu aku boncengin Fara naik sepeda ke sekolah, dari kejauhan aku lihat dia berjalan berlawanan arah dengan kami. Hmm… Si Cakep. Aku sungguh selalu ingat pada wajahnya, so sambil semangat empat lima ngegenjot sepeda, dari jauh aku dah pasang kuda2 utk senyum manis. Tentu saja ga ada maksud apa2, cuma seneng aja liat dia. If I were fifteen or twenty years younger, he’s my type, that’s all. Kami akhirnya berpapasan, tapi tau nggak, senyumku yg sudah tersungging dalam radius satu kilo meter ternyata digaringin. Kurang a*ar. Ga sopaaaan. Tapi… dia memang memandangi kami, cuma melongo terkesima tak berkedip menatap seseorang di belakangku. And all at a sudden I was just realized there’s my daughter behind my back ! Yang pasang wajah cemberut sambil bersungut-sungut karena merasa jok belakang sepeda terlalu keras untuk menaruh pantatnya… Fara… Fara … respon dikit kenape ? kok jadi Mama yang deg2an ..Aarrrghh ... I swear I’ll teach her to smile next time we bike 2 school…. hehe …

kejang jiwa

Waktu Fara denger adiknya yang sakit perut didiagnosa kejang usus (istilah yang aku baru denger, tapi Alhamdulillah ga parah sih) oleh si dokter, dia mengernyitkan alis dan serius berbisik, “Dear Mom, I really think you should see the doctor too, cause with all your scream at me almost everyday, you might have gejala ‘kejang jiwa’ …” .. Glek !!

Saturday, March 21, 2009

sexy scent sensation...

Di komplek sedang banyak orang bangun rumah. Tukang-tukangnya ada yang tinggal di bangunan belum jadi tsb dan memasak dengan kayu bakar. Sumpah aku suka banget baunya, yang tercium ketika lari pagi setiap Sabtu. Mengingatkanku pada jaman KKN, pada rokok menyan di Banyumas yang aromanya sexy abis, pada cinta sederhana ala Sapardi Djoko Damono… Mudah2an mbangun rumahnya gak buru2 rampung, so msh bisa menikmati sensasi menghirup bau kayu bakar sambil bersenandung “Aku ingin mencintaimu, dengan sederhana … dengan isyarat yang tak sempat disampaikan kayu kepada api, yang menjadikannya abu …”…… Hmmmhh ….

Smart Girls/Women

Ari wrote :
One day, on a bright late Monday morning, I was having conversation, which then continued with lunch with a friend. We sat in a cafe, on a prestigious shopping mall in the heart of Jakarta. As usual, we talk about anything and that includes personal related stuff. Knowing that I am still single, then she asked me, what type of girl am I looking for, in a sense, what is the first criteria I put in to consideration.
That’s easy. SMART.
And she sought for further inquiries, define smart…
OK, I try to elaborate this…
Smart, well she doesn’t have to be a rocket scientist or theoretical physicist, although it would be cool to have someone explaining to me about quantum mechanics and general relativity, string theory or gauge bosons, fermions and all others sub atomic particles. And discussed intimately about Hawking’s history of time. But anyway, no, does not have to be that smart.
Well, smart in a sense that she knows general knowledge. Common thing that most modern women know and aware of. For example, green house effect. Well, one thing for sure, Global Warming is not because a lot of buildings use glass in their construction. No, it’s not it. Look for the definition in Wikipedia please.
And other general knowledge, like how many provinces are there in Indonesia, who was the Governor General of VOC during Dutch Colonization in East Indies, also updates herself with current issues, music, trends, and aware of what’s going on around her.
Why?
First, I need to have something to talk about with my girlfriend, and I don’t want to explain general knowledge every time I have conversation with her.
Second, when eventually she become my other half, I don’t want my kids to drink melamine contaminated milk, or take up antibiotics when they catch common cold just because my other half is not updated with the current news.
And yeah, please stop watching mind-numbing shitnetron on local TV.

Madly and wrongly love ...

Ari wrote :
What on earth have I done?
I just ask a woman to runaway, to leave her man, her son and her family.
I must be mad. Mad to the bone.
Is this what love can do?
Is this what you do when you madly in love? Simply defying logic and follow your so called “heart“.
Being impulsive, aren’t I?
And for a moment, there were silent, I was waiting for her to type something. A response, a reply, anything…
“What would you do if you were me?”
“It depends…”
“Depends on what?”
“How madly in love I am at the moment…”
“I guess we both are madly in love at the moment…”
“So?”
“I would runaway with you, but I couldn’t…”
“Why?”
“Ok, lets say I left him and my family, would the other person accept me for what I am?”
“What do you mean? And who is the other person?”
“There’s no one else that I love from a distance but you…”
“You think I would not accept you for what you are?”
“Would you?”
“Why not?”
“Honey, please don’t push me… We might be two individuals madly in love, but you deserve to be with someone else, someone better than me.”
“What if there is no one better than you?”
“There is, believe me. Someone who loves you better, loves you whole heartedly, one that doesn’t have to share her love with other man, only for you. You are free, the world is yours, they are all there for you to choose.”
“So, what should we do now?”
“We have no other choice sweetie, at the moment, this is the best we can get…”
“This pain is killing me…”
“Do you think this is not painful for me as much as for you?”
“Dear…”
“Yes…”
“I don’t want the world, I want you…”

Sunday, March 15, 2009

Alisa wrote :
hope ...
...is holding on when things around you begin to slip away..
...is praying expectantly when there seemingly are no answers..
Wars begin when u will, but they do not end where u please (Machiavelli)
Waktu akan menyembuhkan luka. Tapi ada beberapa luka yang tak dapat disembuhkan. Tea 4 Two.
Susan wrote in her status on fb :
Aku ingin dicintai dengan cinta yang MESKIPUN, bukan dengan cinta yang KARENA
Best prize in life is working hard on a worthwhile work … (The Bridge to Terrabithia)
It may not be too difficult to do good. It is more difficult to be good. (Samuel Mulia on his bday Jan 2009)

The Two of Us...

We talk,
We eat,
We talk,
We dance,
We talk,
and finally..

Akhirnya
Dia tersenyum, itu manusiawi katanya.
Menurutku juga
Tapi apakah selalu begitu?
Dia mengendik, itu wajar, katanya
Tapi bukankah kita bisa menghindarinya?
Dia mengendik lagi, memilinkan jari jemariku di jemarinya
Aku menghela nafas
Sama-sama tidak mengerti
Aku tidak menyalahkannya, dan tidak berusaha menyalahkan diri sendiri
Aku tahu aku menginginkannya, dia menginginkannya
Apakah kamu akan lari?
Atau mencoba lari?
Tanyanya tiba-tiba
Tidak, jawabku
Dan balik bertanya padanya, bagaimana dengan dia
Dia tersenyum.
Inilah akibat itu, katanya
Dan tidak perlu lari, kata dia selanjutnya
Karena kita manusia, ini manusiawi, dan aku menginginkannya, kamu menginginkannya
Lama aku terdiam, dan dia merengkuhku lembut
Mendengarkan degup jantungnya

And we talk,
We eat,
We talk,
We dance,
We talk
And it’s happen
Again..

Light my fire light my fire light my fire light my fire light my fire light my fire light my fire
(Glen, Feb 2009)

Perempuan yang Dicintai Suamiku

Botefilia wrote :
Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja sampai subuh, baru pulang kerumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tidak romantis, dan tidak memerlukan hal2 seperti itu sebagai ungkapan sayang.Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluarpun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami.
Sampai suatu ketika, disuatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit dirumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan dirumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.
Aku mulai mengingat2 5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung didepan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya," Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini ? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal, sini piringnya, " lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan….aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun !Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang kerumah saat ulang tahun perkimpoian kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.
Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan gerimis kemudian.Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papa nya, dan memanggilku, " Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha ?"Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,
Dear Meisha,Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku.Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2 mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.yours,Mario
Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan diamplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju.
Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.
Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus didalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
**********Setahun kemudian…
Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.
" Mario, suamiku….Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa diatas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..Ternyata aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, " kenapa, Rima ? Kenapa kamu mesti cemburu ? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku ?"Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.Istrimu,Rima"
Di surat yang lain,
"………Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha……"
Disurat yang kesekian,
"…….Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang kerumah. Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, dirumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah…….Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya…….."
Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.
Disurat terakhir, pagi ini…
"…………..Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang kerumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.Saat aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.Tahukah engkau suamiku,Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………"
Jelita menatap Meisha, dan bercerita," Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya diseberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante….. aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……" Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.
Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear Meisha,Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar…. Inikah tanda2 aku mulai mencintainya ?Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku….
Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Diwajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario. Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.
Jakarta, 7 Januari 2009 (dedicated to my friend....may you rest in peace...)

Unfaithfully yours ...

Ari wrote :
After four months, no words, news, nothing, now suddenly she drops me an email, with her picture attached. What is this? A way of telling me that she’s back? Back in to my life?
For four months I’ve been trying to forget her, to forget the feeling I had, and I almost succeeded. But now she’s back, her picture bring back all the memories. Her half-chinese face, her smile, and most of everything about her. How I once want her to be mine, and it hurts to realize that it will never happened.
She’s back online now, regularly, but she’s unable to see me online. I’ve set messenger on invisible mode most of the time. I’m trying hard to keep myself from not clicking her nickname, the more I resist it, more and more agonizing it turns out to be.
“missing you”
That what was written on her status, of course she did not see mine, I am in invisible mode. I know that the status was addressed to me, I just know.
“Miss you too…”
So I start the conversation, I can’t help it.
“You took me by surprise!”
“Why?”
“excuse me?”
“Why did you send it? The email, the photograph?”
“Actually I want to tell you about my holiday…”
“Did you realize how it would affect me? Did you even think about it?”
“How? How does it affect you?”
“It reminds me how I want you, make me feel like grabbing my stuffs and book the next available flight bound to your city to meet you… I’ve almost forgotten all about you, and while you were away, it’s easier for me to forget you.”
“Did you think I’m not feeling the same way? Honey, I feel the same way too, and I miss you so much. It is painful you know to bear this faulty love, this wrong kind of feeling.”
“It is not love that at fault.”
“Yes, it’s my fault.”
“No, we’re in this together.”
“May I have your picture?”
“What for? Wouldn’t it make you miss me even more?”
“So, it is not allowed for me to miss you anymore?”
“No, not that… I don’t mind if you miss me, but someone might…”
“Please…”
“There, picture sent… Don’t put the blame on it, if it makes you love me even more…”
“Got it, where did you take this photo?”
“Japan…”
“You look different from the last time we met. Chubbier… But where’s the smile?”
“Smile?” It will definitely make you love me even more.”
“You know I love your smile, and the teeth in particular… And it does make me miss you even more…”
Then a smiley pops up.
“Come and visit me…” I said.
“Do you think I don’t want to meet you again? God knows how badly I wanted to see you, meet you again. But it is just not possible, with the way things are.”
“I’ll come and visit you then…”
“And where are we supposed to meet? My office?”
“I don’t know, you know the places better…”
“Look, I am being watched every step of the way, it’s kinda hard for me to get out of sight. Even if you come and visit me, my office lobby is the furthest we can go to. Do you still want to see me there? No, right? It would be such a waste of plane tickets.”
“Can we go somewhere private?”
“Hmm, you don’t want to do something funny, do you?”
“Do you?”
“Waaaa… No… holding your hands, that’s it…”
“Ah, still waste of tickets…”
“Honey, would you mind calling me?”
“To which number? I don’t have your number…”
“My office number…”
Then she gave me her office number…
“I won’t call you to your office, why don’t you give me your mobile number instead?”
“You know I can’t give you my mobile number, it would be too risky.”
“I won’t call you to your office…”
“Honey, please… I miss your voice…”
“Are you still at the office?”
“Yes…”
“I call you now…”
I dialled the number she gave me, moments later, I can hear her voice, thousands of miles apart.
For less than two minutes, we talked, just to say Hello, but yet it made us missing each other even more.
“I’ll call you again tomorrow…”
“My heart beats faster just by hearing your voice…”
“Runaway with me…”
“WHAT?”
“Runaway with me…”

The unfulfilled one ...

Ari wrote :
As always, I turn on my laptop computer as soon as I get home. Clicking on messenger and wait till it’s connected and wait for her to be online.
Usually, she’s the one greeted me when I get home on weekdays,
“good evening, honey..”
And I would replied
“good evening, love…”
But not tonight, she was not there, where she usually pops up a grin smiley on my client. Not tonight, otherwise I’d be altogether drawn in an intimate, flirty conversation. Tonight, yeah starting from tonight, she would be temporarily offline.
“Honey…”
“Yes dear…”
“Starting from tomorrow, I won’t be online anymore, at least for a month or so…”
“Why?”
“My contract has been terminated by the company, now I’m looking for another job. And since mostly I’d be staying at home, then, I have limited access to the internet, and I can’t go too often to an internet cafe or taking my laptop with me to a cafe to go online and chat with you.”
“Oh, I’m sorry to hear that, I hope you get a new job soon… but…”
“But what?”
“But, what if I miss you, how am I suppose to contact you, can you give me your phone number?”
“Honey, I already told you, I can’t give you my phone number, too risky, for me, for us… I’ll be missing you too, I know I will… I’ll miss the conversation we are having just before I drive myself home that keep me smiling all the way. I’ll miss your jokes, flirt, and just about everything that we had till this moment. But please, don’t ask for my phone number, and don’t even try to seek for it.”
“Ok, I understand…”
Argh, to much of understanding I have given to this relationship. One that we both know it only will lead us nowhere. But somehow it felt like addiction, we both addicted to each other, in a way. An hour or two before she goes home every weekdays, will do. And we don’t know how to stop this, and only time will tell when this would stop.
And that night was when the time tell us when it ends, at least I thought it would.
It’s been a while since the last time we’ve chat and flirt over the messenger. I’ve almost forgotten how she looks like, how she sounds, how she would pops her grin smiley on my messenger, and most of anything about her.
Until yesterday, she drops me an email with her latest holiday picture attached. She and her son…

Things unsaid ...

Ari wrote :
The ymessenger icon bouncing up and down, indicating someone on my contact just turn his/her client online. Smile on my face as I saw the nickname. It won’t be long before a message window pops-up and a grin smiley shows up in the first line.Soon we were engaged in a conversation, as the night grows late, our conversation became more and more intimate, touching the sensitive part and start talking about the L word. The word which out of my vocabulary for quite sometime, simply because, keeping things simple.
“Let’s just see…”
“How about me? May I do it?”
“Sweetie, Probably you are the one capable of doing it right now. But no, I won’t let you do it. It would only make things more complicated.”
“I know…”
“If only…”
“If only what?”
“If only, all there is left…”
“You know what I like the most from you?”
“Hmm, no… what?”
“First, your voice, I really like your voice, crisp and distinct.”
“And what else?”
A grin smiley pops out once again
“What’s the second?”
“Your teeth…”
“Hahaha, you must be kidding, my teeth? I don’t have perfect set of teeth.”
“No, seriously, I like your teeth…”
“This is weird, you like two things that my ex’s complained the most. My voice, they didn’t like it as much, especially when I hum to a song. The second, my yellowish and misaligned sets of teeth… “
“It’s been a while since the last time we met.”
“Yeah…”
“I still remember the day we met. You in your casual attire, with pair of jeans, that only God knows when the last time you wash them. With red polo shirt, never thought you were meeting my boss.”
“I am a consultant, freelance one, what do you expect? They never hire me for what I wear.”
“Yeah, and in that very moment, when I saw you for the first time, I like your teeth. They make me feel like kissing you.”
“Hahaha, according to my ex’s, I am a great kisser…”
“Are you? I refuse to believe it.”
“Do you want a test to prove it?”
“No, I don’t.”
“Why not? Afraid of being addicted?”
And a shy smiley pops…
“Dear…”
“Yes…”
“If only…”
“If only what?”
“If only we met long time before… and dozens of other if only…”
“Yes, if only, you are there, always there, in the domain of if only…”
“Sweetie…”
“Yes…”
“I believe it’s easier this way, less complicated.”
“I know, and I am happy, happy that I’ve found you, happy that I’ve met you. Even though only in the domain of if only things would be less complicated between us.”
“Yes…”
“It’s getting late, I have to go home… He must be waiting at home, worry about me.”
“I understand, take care… have a safe drive…”
“You too, have a nice sleep…”
And a kiss smiley appear…And I signed out from my messenger client. Turn off my laptop; close my eyes and wandering in the realm of if only…

Arsene ... Ketika upaya fortifikasi menjadi sedikit lebay ...

Everything could happen the day we went to watch Java Jazz.
“Itu Top-Score?”
“Hmm.. ini Kompas.”
“Oh, saya kira Top Score.”
“Boleh saya lihat ?”
“Oh, maaf ini Kompas lama, hari Jumat kemarin.”

Tiba2 aku mengutuk kebiasaanku membawa2 pending Kompas ke mana2. Malu-maluin aja.
“Kamu mau ke mana ?”
“Senayan.”
“Kamu bisa berbahasa Inggris?”
“Nggak banyak.”
“Saya kira kamu bisa, karena di sana tulisan berbahasa inggris.”
“Hmm. Ini hanya jadual pertunjukan.”
Pandangannya bertanya. Aku memasukkan schedule java jazz ke dalam tasku. Hhh, males banget ngejelasinnya.
“Saya mau nonton java jazz.”
“Oh, kalau saya lebih suka Blues.”
“Kamu tinggal di sekitar sini ?”
Aku menyebutkan nama perumahan tempat aku tinggal.
“Saya belum pernah dengar.”
Hmm lagi. Plus senyum seadanya. What do you expect ?
Hening. Jadi nggak enak juga pasif mulu gini.
“Kamu dari mana ? Bahasa Indonesiamu cukup lancar.”
Bohong banget. Dari tadi aku harus pakai penuh kapasitas terpasang kupingku untuk menangkap bahasa Indonesianya yang patah-patah.
Dia tersenyum.
“Sudah satu tahun saya di Indonesia. Saya bermain untuk klub di Wamena. Tapi saya pulang pergi Jakarta-Wamena.”
“Saya tinggal di Perancis. Ibu saya dari Perancis, Ayah saya dari Kamerun.”
“Sudah berapa tahun bermain bola ?
“Umur saya ? 24 tahun.”
Selamat datang kesenjangan bahasa. Please deh. Siapa juga yang nanya umur.
“Sebelum di Indonesia, di mana ?”
“Singapore. Saya sempat main di Singapore.”
Hening lagi. Dia bergoyang-goyang mengikuti irama entah apa dari headset di telinganya.
“Pertunjukan musik itu, di Senayan ?”
“Yup.”
“Sudah menikah?”
“Yup.”
Bergoyang-goyang lagi.
“Maaf, tapi suami kamu biasa membiarkan kamu pergi sendirian ?”
Sungguh menyebalkan.
“Suami saya tidak tinggal satu kota. Saya bertemu teman di Senayan. Kami akan pergi bersama menonton pertunjukan itu.”
“Oh, I see.”
“Maaf, kalau saya jadi suami kamu, saya tidak akan membiarkan perempuan secantik kamu pergi sendirian. Perempuan itu seharusnya disayang..”
Buseeeet. Berapa menit sih kami bercakap-cakap ? Kok berani-beraninya mengkritik suami orang. Here we go. Aku bersiap-siap mendengar kalimat-kalimat yang menjurus, dan bersiap-siap memutuskan pembicaraan kalau dia mulai ga sopan atau masuk ke gombal session.
Aku ketawa garing. Tapi dia ga melanjutkan apa-apa. Ekspresi wajahnya datar2 aja. Beberapa lama kami tidak berkata-kata. Aku mengambil Kompas Jumat-ku dan mulai membacanya, tapi sebenarnya yang aku lakukan adalah mulai berpikir bahwa mungkin ungkapannya itu jujur (especially about 'cantik' tadi, alamaaak ... rada tersanjung juga nih aku wekekekek...). Dan budayanya membolehkan dia berbicara terbuka kepada siapa pun.
Ponselnya bergetar. Dia menerima panggilan dan berbicara tentang tiket pesawat, jadual dan semacamnya.
“Ini sekretaris klub kami. Saya sudah diminta pulang.”
“Bagaimana di Papua ? Biaya hidup mahal ya ?
Basa-basi banget.
“Kamu sering jalan-jalan ?”
Aku teringat seorang teman yang sekitar 15 tahun lalu mengajak ke Papua, yang dulu masih kami sebut Irian, untuk melihat keindahan alamnya yang mempesona.
“Dulu saya sempat ingin ke Papua. Tapi belum jadi sampai sekarang.”
“Saya tidak suka perjalanan ke sana. Lama sekali. Bisa 6 jam. Kalau cuaca bagus, tidak terlalu terasa. Kalau cuaca buruk, aarrrgh…”
Ia menirukan badan pesawat yang turun naik dengan tangannya.
“Mengerikan.”
“Kamu suka ke Bali ?”
“Hmm. Ya.”
“Bali mengingatkan saya pada kota asal saya di Perancis. Itu suatu daerah yang mirip sekali dengan Bali. Namanya ….”
Ia menyebut suatu nama yang asing di kuping. Dan well, aku juga ga tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Tapi sebagai respek ku, aku menggumamkannya kembali sambil mengangguk-angguk.
Ia menuliskan sesuatu di ponselnya. Kemudian menunjukkannya kepadaku sembari mengulang menyebut nama kota kesayangannya itu.
Cote d’Azur
. Hmm. aku mencoba melafalkan lagi walau aku tau ga ada kemajuan sama sekali dari gumamanku yang pertama. Hihi.
Kami mulai berbicara tentang kota tersebut, tentang karirnya di sepak bola.
Adventure seeker and curiousity about new things mode on.
“Boleh saya minta nomor telpon kamu ?”
Aku terkejut, tidak menyangka dengan permintaan itu.
Shit
. apa alasan untuk menolaknya ya.
Aku tertawa aneh. Dia terus menatapku serius sambil menggenggam ponselnya, bersiap menyimpan nomorku. Okay..okay… otakku berpikir cepat. Ga ada ruginya kasih dia nomor. Apa yang bisa dia lakukan dengan nomorku ? Paling2 teror via telepon yang aku sudah terbiasa menerimanya sejak masih imut2 dulu… hehe … Di benakku terlintas kriminalitas, sindikat perdagangan narkoba dll. Kemudian sikapnya yang santun dan kewajiban manusia Indonesia untuk bersikap ramah. Kemudian lagi, aku sebagai muslim yang tidak sepantasnya menolak permintaan seseorang untuk berteman.
“Saya missed call aja. berapa nomormu ?”
Dia menyebut nomornya. Aku menekan tombol2 di ponselku. Melakukan panggilan.
“Siapa namamu ? Namaku Arsene.”
“Yudhi.” Bahkan aku ga berniat menyamarkan namaku. Untuk apa.
Dia mengetikkan nama di ponselnya, memperlihatkannya kepadaku.
Judy
. Aku mengangguk. Nggak melakukan apa pun dengan ponselku.
“Sudah kamu simpan nama saya tadi ?”
Aku tersentak kaget. Mengangguk ragu. Hehe. Dia kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Arsene
. Aku mengangguk lagi. Tapi tetap ga melakukan apa pun.
Akhirnya kami berpisah.
Sepuluh menit kemudian.
From:
081511XXXXX
Subject:
Maaf ganggu. Tapi aku senang kenal sama kamu !
Date:
08/03/2009
Time:
2:20 pm
Hmm… dalam lima menit aku menimbang-nimbang untuk membalasnya atau tidak.
From:
081357XXXXXX
Subject:
Thx. It’s always fun 2 meet new people !
Date:
08/03/2009
Time:
2:30 pm

Tiga jam kemudian.
From:
081511XXXXX
Subject:
Sorry, masih di sana ?
Date:
08/03/2009
Time:
5:11 pm

Keesokan harinya.
From:
081511XXXXX
Subject:
Slmt pagi ! Bagaimana acara musik kemarin ?
Date:
09/03/2009
Time:
10:56 am

Tiga hari kemudian.
From:
081511XXXXX
Subject:
Slmt sore sorry ganggu. Tapi kamu baik2 saja ?
Date:
12/03/2009
Time:
6:22 pm

Arsene… Arsene … namanya mengingatkanku pada Arsenal, klub sepak bola Inggris. Aku ga pernah balas sms nya lagi. Cukup sudah aku membalas sms-nya yang pertama, sebagai tanda bahwa aku mengconfirmnya sebagai teman. Tapi sungguh, ada yang mengganjal di hatiku. Aku merasa seperti orang yang jahat, ge er, tidak bertangung jawab atas keputusanku memberi nomor telepon kepadanya. Padahal ga ada yang salah dengan isi sms nya. Dia hanya seorang teman. Ketika kita memilih untuk memulai sebuah pertemanan, maka ada konsekuensi yang kita tanggung untuk menjaganya, tidak melakukan sesuatu yang menyakiti perasaannya, tidak membuat ia merasa dicuekin, dilukai, dilecehkan, dijauhi, unwanted dan dibuang. Intinya memperlakukan teman dengan manusiawi. Apabila dengan orang yang tidak kita kenal saja, kita berusaha bersikap baik, maka seharusnya sikap itu lebih kita tunjukkan pada orang yang kita kenal (walau hanya dalam tempo kurang dari satu jam), apalagi kalau misalnya, dengan orang yang cukup dekat dalam waktu cukup lama. Ketika status sebagai perempuan yang menikah membuatku membangun benteng-benteng, melakukan fortifikasi terhadap kehidupan perkawinanku, maka aku seharusnya berhati2 agar itu ga jadi lebay, atau menjadi episentrum yang berdampak katastropik terhadap pertemananku dengan pihak lain, tentu saja tanpa meninggalkan respect thd pasangan, ya nggak ? Hmm… Déjà vu. Rasanya aku pernah diginiin sama seorang teman deh. Seakan ada disparitas di antara kami yang membuatku not deserve treated as a friend anymore. Dan ketika kita sadar telah diperlakukan dengan ga manusiawi, sedihnya ga terkatakan bo, banget bangeeeet …. But sometimes life is unfair, so get used to it …. Arsene… Arsene … maafkan aku…